Jumat, 27 Maret 2009

Pencegahan Global Warming

Maukah anda mematikan lampu anda, minimal satu saja, yang biasa anda biarkan menyala pada malam hari selama 60 menit pada tanggal 28 Maret 2009 pukul 20.30 nanti?? Ya….. tanggal 28 Maret 2009 pukul 20.30 waktu setempat, di manapun anda berada, adalah merupakan jam bumi (earth hour), di mana 81 negara di dunia pada jam tersebut “bersatu-padu” untuk sejenak “mendinginkan” bumi dari serangan pemanasan global. Pendinginan bumi tersebut adalah dengan cara mematikan lampu dan peralatan elektronik lainnya yang tidak perlu selama satu jam saja pada 28 Maret 2009 pukul 20.30 nanti.
Earth Hour dipelopori pertama kali oleh WWF Australia dan baru dilaksakan secara mendunia di tahun 2008. Di tahun 2008 tersebut baru 35 negara yang berpartisipasi. Kini, di tahun 2009, rencananya 81 negara akan berpartisipasi untuk melaksakan Earth Hour ini, dan Indonesia adalah satu di antaranya. Saya sendiri baru mengetahui Earth Hour ini dari National Geographic Channel beberapa bulan yang lalu. Dan rencananya National Geographic Channel Asia ini juga akan menunda siaran regularnya selama satu jam pada pukul 20.30 waktu Hong Kong guna ikut melaksanakan Earth Hour ini.
Kenapa dengan mematikan lampu (dan peralatan elektronik lainnya) kita dapat mendinginkan bumi dari serangan pemanasan global? Ini disebabkan karena pada lampu hemat energi yang biasa kita gunakan, misalnya, hanya kira-kira 10% dari energi yang digunakan dapat diubah menjadi cahaya yang kita perlukan untuk menerangi ruangan, sementara sisanya yang 90% akan diubah menjadi panas! Nah, dengan mematikan lampu diharapkan panas yang dipancarkan dari lampu-lampu perkotaan dan juga peralatan elektronik lainnya dapat sangat dikurangi. Namun yang paling penting adalah dengan banyak mematikan lampu dan peralatan elektronik lainnya yang tidak perlu diharapkan konsumsi bahan bakar hidrokarbon pada pembangkit tenaga listrik dapat berkurang cukup signifikan sehingga emisi gas CO2 dapat berkurang secara signifikan. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap konsumsi bahan bakar hidrokarbon seperti minyak atau batu bara akan menghasilkan gas CO2. Dan seperti yang kita ketahui bersama dan yang pernah saya tuliskan
di sini, bahwasannya gas CO2 adalah gas rumah kaca yang dapat mencegah panas keluar dari atmosfir bumi ini, sehingga dengan banyaknya gas CO2 di atmosfir maka dapat meningkatkan suhu di permukaan bumi secara signifikan. Dan tentu saja kenaikan suhu di permukaan bumi secara signifikan akan membawa dampak-dampak yang negatif dalam lingkungan hidup kita di bumi ini. Sesuatu yang tidak akan kita kehendaki bersama jikalau hal tersebut terjadi.
Nah, kini dengan mengetahui bahwa dengan mematikan minimal satu lampu saja selama satu jam saja di setiap rumah tangga dapat ikut menyelamatkan bumi dari pemanasan global, apakah pada tanggal 28 Maret 2009 pukul 20.30 waktu lokal anda, anda menjadi tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam Earth Hour ini??

Selasa, 03 Maret 2009

Penemuan galaxy terkecil

Sebuah galaksi yang disebut-sebut sebagai yang terkecil dalam ukuran dan massanya berhasil dikenali oleh suatu tim internasional yang dipimpin oleh dua ilmuwan dari University of California di Santa Barbara, Amerika Serikat.

Para ilmuwan memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh teleskop antariksa Hubble milik NASA dan teleskop observatorium W.M. Keck di Hawaii. Berukuran sekitar setengah kali dari galaksi terkecil yang biasa diamati, dengan massa hanya sekitar sepersepuluhnya, galaksi ini 100 kali lebih ringan daripada galaksi kita Bimasakti. Penemuan ini akan dipublikasikan dalam Astrophysical Journal terbitan 20 Desember mendatang.

“Walaupun galaksi ini berjarak lebih dari 6 miliar tahun cahaya, citra yang didapat sangat tajam, tidak berbeda dengan citra dari pengamatan berbasis darat dari struktur terdekat di galaksi, cluster Virgo, yang berjarak 100 kali lebih dekat,” demikian menurut penulis utama, Phil Marshall, postdoctoral fellow di University of California Santa Barbara (UCSB).

Penulis kedua, Tommaso Treu, asisten profesor fisika di UCSB menjelaskan bahwa pengambilan citra galaksi ini dimungkinkan oleh fakta bahwa galaksi yang baru ditemukan tersebut berada dibelakang sebuah galaksi masif, menghasilkan apa yang disebut sebagai “cincin Einstein” (Einstein ring). Distribusi materi di latar depan membelokkan berkas cahaya sedemikian rupa seperti halnya sebuah kaca pembesar. Dengan memfokuskan berkas sinar, efek lensa gravitasional (gravitational lens) dapat meningkatkan kecerlangan dan ukuran galaksi di latar belakang dengan faktor hingga diatas 10.

slac_tiny_gal_500.jpg
Citra ini menunjukkan citra warna komposit dari sistem lensa gravitasional, yang direkonstruksi dari data teleskop Hubble (biru dan hijau) dan Keck (merah). Cincin berwana biru adalah galaksi kecil di latar belakang, yang melebar oleh tarikan gravitasi dari lensa galaksi di latar depan, di bagian tengah pada gambar. (Gambar: Marshal & Treu/UCSB)

Treu dan kolega-koleganya di Sloan Lens ACS Survey (SLACS) berkolaborasi dalam studi mengenai lensa gravitasional pada cincin Einstein. Dengan memanfaatkan lensa gravitasional, berkas cahaya dari galaksi jauh dibelokkan dalam perjalanannya menuju Bumi oleh objek masif yang dilewati selama perjalanannya. Karena berkas cahayanya dibelokkan, maka penampakan galaksi tersebut terdistorsi menjadi sebentuk busur atau beberapa citra yang terpisah. Saat kedua galaksi berada pada posisi sejajar, berkas cahaya itu membentuk pola cincin Einstein, di sekeliling dan di latar depan galaksi bersangkutan.

Perkiraan mengenai massa dan kesimpulan mengenai jumlah bintang yang baru terbentuk pada galaksi tersebut dimungkinkan oleh kombinasi citra optis dan near infrared dari Teleskop Antariksa Hubble bersama citra dengan panjang gelombang yang yang lebih besar yang diambil dengan teleskop Keck. “Apabila galaksi ini adalah anggota dari suatu populasi, ia mungkin merupakan salah satu materi pembentuk galaksi spiral di masa kini, atau mungkin merupakan pendahulu dari galaksi kerdil modern,” jelas Treu. Galaksi ini kelihatannya sangat mirip dengan galaksi terkecil di cluster Virgo namun berada pada jarak yang sangat jauh.

Aspek kunci lainnya dalam riset ini adalah penggunaaan apa yang disebut sebagai “laser guide star adaptive optics.” Sistem adaptive optics menggunakan bintang-bintang terang dalam sebuah area pandang untuk mengukur kekaburan (blurring) atmosfer Bumi dan mengkoreksinya dalam waktu yang bersamaan. Teknik ini bergantung pada keberadaan bintang yang terang dalam sebuah citra, dan dengan demikian hanya dapat diterapkan pada sebagian kecil dari langit malam. Laser guide star adaptive optics yang dipasang pada teleskop Keck menggunakan sinar laser berkekuatan besar untuk menyinari lapisan atom sodium yang terdapat pada atmosfer Bumi. Citra laser berlaku sebagai bintang buatan, yang cukup cemerlang untuk dipakai dalam koreksi adaptive optics pada sembarang posisi di langit, sehingga menghasilkan pencitraan yang lebih tajam pada sebagian besar daerah langit. (astronomy.com)

Deposit Misterius di Permukaan Mars

Sistem radar dari wahana Mars Express milik badan ruang angkasa Eropa, ESA, telah menyingkap rincian terbaru mengenai suatu deposit paling misterius di permukaan Mars: Formasi Medusae Fossae. Ini adalah pengukuran langsung pertama mengenai kedalaman dan sifat kelistrikan dari material tersebut, menyediakan petunjuk baru mengenai asal-usulnya.

Formasi Medusae Fossae (Medusae Fossae Formation, MFF) adalah deposit di permukaan Mars yang menyimpan keunikan dan teka-teki tersendiri. Ditemukan di dekat ekuator Mars, di sepanjang perbatasan antara dataran tinggi dan dataran rendah, formasi ini merepresentasikan salah satu dari deposit termuda di permukaan planet itu. Hal ini disimpulkan dari sedikitnya ditemukan kawah bekas benturan meteorit disana, tidak seperti yang banyak ditemui pada dataran yang lebih tua.

Mars Express telah mengumpulkan data dari kawasan tersebut menggunakan perangkat Mars Advanced Radar for Subsurface and Ionospheric Sounding (MARSIS). Antara bulan Maret 2006 hingga April 2007, Mars Express telah berkali-kali mengorbit diatas kawasan tersebut, sambil mengirimkan gelombang radar ke permukaan.

Untuk pertama kalinya, pantulan gelombang radar menunjukkan kedalaman dari lapisan MFF, berdasarkan pengukuran waktu yang dibutuhkan oleh gelombang radar untuk menembus lapisan teratas dan memantul lewat lapisan batuan yang lebih dalam. “Kita belum mengetahui seberapa tipis deposit MFF itu sebenarnya,” jelas Thomas Watters dari Center for Earth and Planetary Studies pada National Air and Space Museum, Smithsonian Institution, Amerika Serikat. “Sebagian peneliti memperkirakan bahwa deposit tersebut hanyalah lapisan tipis yang menutupi topografi di dataran rendah. Data terbaru menunjukkan bawa MFF adalah suatu deposit masif yang di suatu lokasi tebalnya mencapai hingga 2,5 km,” tambah Watters.


Pembagian topografi antara dataran tinggi dan dataran rendah di Mars. Deposit MFF ditemukan di dataran rendah sepanjang perbatasan. Bagian bawah dari citra ini menunjukkan gelombang radar yang dikirim oleh perangkat MARSIS dan dipantulkan oleh permukaan yang lebih keras di dasar deposit. (Gambar: ESA/ASI/NASA/Univ. of Rome/JPL/Smithsonian)

Deposit MFF memancing rasa ingin tahu para ilmuwan karena berhubungan dengan kawasan yang menyerap panjang gelombang tertentu dari gelombang radar berbasis di bumi. Kawasan dimana terdapat deposit ini dikenal sebagai daerah “siluman” (stealth) karena tidak memantulkan gelombang radar sama sekali. Panjang gelombang radar yang terpengaruh adalah antara 3,5 hingga 12,6 cm. MARSIS menggunakan panjang gelombang antara 50 hingga lebih dari 100 meter. Dengan panjang gelombang sebesar itu, sebagian besar gelombang radar akan menembus deposit MFF dan memantul pada material padat di bawah permukaan.

Berbagai skenario telah diusulkan sebagai jawaban terhadap asal-usul serta komposisi dari deposit ini. Pertama, deposit ini mungkin adalah abu vulkanis dari suatu kepundan yang telah terkubur, atau gunung api yang berada di dekatnya. Kedua, deposit ini mungkin merupakan material yang tererosi dari bebatuan Mars lainnya dan kemudian yang terbawa oleh angin. Ketiga, MFF mungkin adalah deposit yang kaya akan es, yang karena sesuatu hal memiliki kesamaan dengan lapisan deposit es yang melingkupi kawasan kutub pada planet tersebut, namun terbentuk saat sumbu rotasi Mars belum berubah dimana suhu di daerah ekuator masih lebih dingin.

Menentukan salah satu diantara skenario diatas tidaklah mudah, bahkan dengan data terbaru ini. Data dari MARSIS menyingkap sifat kelistrikan lapisan terebut. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan tersebut mungkin merupakan material yang ringan atau berdebu. Namun demikian, sangat sulit untuk memahami bagaimana matarial semacam ini dapat mencapai ketebalan hingga berkilo-kilometer, dan tidak memadat oleh berat material diatasnya.

Di sisi lain, walaupun sifat kelistrikannya konsisten dengan lapisan es air, masih belum ada bukti kuat lainnya mengenai keberadaan es pada saat ini di daerah ekuator Mars.

“Apabila terdapat es air pada ekuator Mars, itu seharusnya terkubur setidaknya beberapa meter dibawah permukaan,” jelas Jeffrey Plaut, peneliti untuk MARSIS dari the Jet Propulsion Laboratory, AS. Hal ini dikarenakan tekanan uap air di Mars sedemikian rendahnya hingga es di dekat permukaan akan menguap dengan cepat. “Kita harus lebih cerdas dalam analisis dan interpretasi data, atau kita harus mengetahuinya dengan cara pergi ke sana dengan peralatan bor dan menyaksikannya sendiri,” demikian tambahnya.

MARSIS tidak hanya memberikan keluaran ilmiah (scientific results) yang luar biasa. Tim peneliti juga telah mengembangkan teknik pemrosesan data yang lebih akurat untuk mengevaluasi karakteristik dari lapisan bawah permukaan dan material yang dikandungnya. Demikian seperti diungkapkan oleh Giovani Picardi dari University of Rome di La Sapienza, peneliti utama dari eksperimen ini. (www.esa.int/marsexpress)

Kutub selatan yang hangat di neptunus

Para astronom baru-baru ini mempublikasikan peta termal pertama dari lapisan terbawah atmosfer Neptunus. Peta tersebut menunjukkan bahwa kutub selatan yang lebih hangat telah menyediakan jalan bagi metana untuk lolos dari lapisan terbawah atmosfer ke lapisan yang lebih atas.

“Begitu tingginya suhu sehingga gas metana, yang seharusnya membeku pada bagian teratas atmosfer (stratosfer), dapat merembes keluar melalui daerah ini,” jelas Glenn Orton, penulis utama dari makalah yang melaporkan penemuan ini.

Suhu pada kutub selatan diketahui lebih tinggi sekitar 10 derajat Celcius daripada bagian manapun di planet tersebut. Suhu rata-rata disana adalah sekitar 200 derajat Celcius. Neptunus adalah planet terluar dari tata surya kita. Dengan jarak 30 kali jarak Bumi-Matahari, intensitas cahaya Matahari yang diterima planet ini hanya 1/900 dari yang diterima oleh Bumi. Hal ini berpengaruh secara signifikan terhadap atmosfer Neptunus.

Para astronom telah menemukan bahwa variasi suhu tersebut konsisten dengan perubahan musim di planet tersebut. Satu tahun di Neptunus setara dengan 165 tahun di Bumi. Saat ini, kutub selatan Neptunus telah mengalami musim panas selama sekitar 40 tahun, dan diprediksikan apabila daerah ini mengalami musim dingin, maka kelimpahan metana akan merembes ke kutub utara yang lebih hangat selama sekitar 80 tahun.

phot-41-07-preview.jpg
Peta yang menunjukkan suhu yang lebih hangat di kutub selatan Neptunus (Gambar: ESO)

“Kutub selatan Neptunus saat ini menghadap ke arah Matahari, seperti halnya kutub selatan di Bumi yang menghadap ke arah matahari saat musim panas di belahan Bumi selatan,” jelas Orton. “Namun di Neptunus, musim panas di kutub selatan berlangsung selama 40 tahun dan bukan hanya beberapa bulan, dan sejumlah besar pasokan energi matahari pada saat itu dapat membuat perbedaan suhu yang besar antara daerah yang selalu mendapatkan sinar matahari dengan yang mengalami pergantian siang-malam.”

“Neptunus memiliki angin yang paling kuat diantara planet-planet di tata surya; angin sewaktu-waktu dapat berhembus dengan kecepatan lebih dari 2000 km/jam,” tambahnya lagi.

Observasi ini juga mengungkap adanya “hot spot” misterius di ketinggian pada stratorfer yang tidak ada padanannya pada atmosfer planet lain. Para astronom memperkirakan bahwa hot spot tersebut berasal dari gas yang membubung dari lapisan atmosfer yang lebih dalam.

Metana bukanlah komponen utama pada atmosfer Neptunus. Sebagai planet raksasa, Neptunus sebagian besar tersusun atas gas ringan, hidrogen dan helium. Namun adalah metana di atmosfer teratas Neptunus yang menyerap spektrum cahaya merah dari Matahari dan memantulkan cahaya biru ke antariksa sehingga membuat planet tersebut terlihat berwarna kebiruan.

Penemuan ini dipublikasikan dalam makalah berjudul “Evidence for Methane Escape and Strong Seasonal and Dynamical Perturbations of Neptune’s Atmospheric Temperatures“, oleh Glenn S. Orton et al. di jurnal riset Astronomy and Astrophysics. Pengamatan dilakukan dengan perangkat mid-infrared camera/spectrometer “VISIR” pada Very Large Telescope (VLT) 8,2 meter di European Southern Observatory (ESO). (www.eso.org)